Hoy hoy hoy akhirnya gw balik~~ nyahahaha
Lama ga post di blog, alasan utama males dan ga ada waktu *cih
Dan kali ini, gw mau nge-post Cerpen yang hari ini gw kumpulin buat tugas. Sebenernya ini cepren yang bikin 'mbak' gw ciahaha *maklum orang jawa yang sok gaul* Eh tapi gw juga memberi ide disini, jadi story by embak and gw, yg ngetik n nyari kata mbak gw tapi *kekeke
Oh oh menurut review dari temen temen, ceritanya bikin nangis. Gw baca sih ga nangis, mungkin hati perempuan asli itu memang lemah dan gampang tersentuh #tabok
Oke langsung aja ntar keburu ujan, Judulnya Himawari no Yakusoku atau dalam Indonese(?) Janji Bunga Matahari, cekidott~
|
Himawari no Yakusoku |
Tokyo, 3 November 2014
Saat ini aku sudah memasuki tahun
ke-3 pada masa SMAku. Berulang kali sensei (guru) menyuruh kami untuk
menentukan Universitas mana yang akan kami masuki. Universitas Meiji adalah
tempat yang sangat ingin aku masuki, mereka memiliki berbagai macam jurusan dan
salah satunya telah berhasil menarik minatku. Hari ini aku dan sahabatku Misa
pergi ke Universitas Meiji untuk melihat-lihat tempat yang ingin kami masuki
tersebut.
“Himawari, lihat! Ayo kita pergi ke jurusan botani,
katanya disana ada senior yang tampan!” Misa menunjuk gedung bertuliskan
Jurusan Botani sambil menarik lenganku. Sahabatku yang satu ini senang sekali
jika mendengar kata “tampan”.
“Iya iya, jangan menarik-narik lenganku begitu.”
Kami berdua pergi mengunjungi jurusan Botani. Dan saat
tiba disana ada sesuatu yang sangat menarik pandangan mataku. Warna kuning
berkilau yang disinari hangatnya matahari siang itu. Sesuatu yang membuat
mataku menghangat karena mengingat hari-hari yang telah terlampau jauh
dibelakangku.
7 tahun yang lalu. . .
Masashi adalah seorang anak pemilik
kebun sayuran yang tinggal di sebuah desa yang jauh dari perkotaan. Setiap hari
sudah menjadi tugasnya untuk mengantar sayuran ke rumah sakit satu-satunya yang
ada di desa itu. Seperti biasa, pagi ini ia mengayuh sepedanya melewati kebun
dan sawah yang membentang luas menuju ke rumah sakit. Namun satu hal yang
membedakan hari ini dengan hari-hari biasanya. Seorang gadis manis penghuni
baru rumah sakit menempati ruang bekas nenek pemilik toko beras yang minggu
lalu menjadi pasien disitu karena penyakitnya kambuh. Gadis itu menatap ke arah
jendela dengan pandangan kosong. Masashi melambaikan tangannya namun gadis itu
sama sekali tidak bergeming. Aneh sekali pikirnya. Hari-hari selanjutnya
Masashi selalu melihat gadis itu sedang menatap ke luar jendela dan berulang
kali ia melambaikan tangan namun tidak ada balasan dari gadis tersebut.
“Apa kau melambaikan tangan pada gadis itu?” tanya
seorang suster yang menerima kiriman sayuran dari Masashi. Ia mengangguk dan
mengatakan bahwa gadis itu tak pernah membalas salamnya. Lalu suster menjelaskan
bahwa gadis itu sebenarnya buta, jadi ia tidak dapat melihat lambaian tangan
Masashi. Masashi sedikit terkejut, wajah murung gadis itu telah menggelitik
hatinya untuk menghibur sang gadis manis yang selalu menatap keluar jendela
dengan pandangan kosong itu.
“Hai !” Masashi menyapa gadis itu dari luar jendela.
Ia menunjukkan ekspresi terkejut dan sedikit gemetaran, namun hal itu membuat
Masashi sedikit geli.
“Jangan takut, aku adalah anak pemilik kebun sayur
yang setiap hari datang ke rumah sakit ini untuk mengantar pesanan. Namaku
Masashi. Siapa namamu?”
Gadis itu meremas selimut yang membungkus setengah
badannya, ia tidak yakin apakah harus membalas kata-kata anak itu atau tidak.
“Aku...namaku Himawari.” Jawab gadis itu dengan suara
parau.
“Himawari ya? Nama yang indah.” Kata Masashi sambil
tertawa.
Setelah berkenalan, lama kelamaan keduanya menjadi
akrab, apalagi mereka sama-sama berusia 10 tahun. Masashi menjadi sering
mengunjungi rumah sakit diluar tugasnya mengantar sayur saat pagi. Himawari pun
menjadi gadis yang ceria sejak adanya Masashi yang selalu mengunjunginya.
Masashi selalu membawa dan membacakan buku yang ia
pinjam dari perpustakaan sekolahnya. Hari ini ia membawa buku yang bercerita
mengenai hamster dan bunga matahari. Himawari sangat menyukainya.
“Himawari berarti bunga matahari. Kau sangat beruntung
memiliki nama yang indah.”
Medengar pujian tersebut Himawari tersipu malu.
“Yaah, meskipun begitu aku tidak pernah melihat bunga
matahari. Meskipun dulu mataku dapat melihat, namun aku hanya dapat
memandanginya lewat buku.”
“Benarkah? Lalu mengapa saat ini kau tidak dapat
melihat?” dahi Masashi berkerut penasaran mendengar ungkapan Himawari.
Himawari pun menceritakan bahwa sejak kecil ia
menderita ashma. Dulu ia masuk ke sebuah rumah sakit swasta di kota besar,
namun dokter yang menanganinya salah dalam memberinya suntikan sehingga obat
tersebut malah memberikan efek samping yang buruk. Pengelihatan Himawari yang
saat itu berusia 5 tahun meredup dalam sekejap. Kedua orang tuanya menjadi
takut untuk memasukkan anaknya ke sembarang rumah sakit meskipun rumah sakit
itu ternama. Saat mendengar ada seorang dokter hebat di sebuah desa kecil
mereka memindahkan Himawari kesana. Suasana pedesaan pun cocok bagi Himawari
yang menderita penyakit ashma.
Mendengar cerita tersebut air mata Masashi menetes.
Tak disangka bahwa Himawari memiliki kisah yang sungguh menyedihkan.
“Tenang saja, dokter Kato dulunya adalah dokter yang
hebat. Beliau pasti bisa menyembuhkanmu!”
“Terima kasih telah menghiburku Masashi, namun mataku
ini sulit sekali untuk pulih tanpa adanya pendonor. Itu yang aku dengar.” Wajah
Himawari menjadi murung.
“Saat dimana kau bisa melihat pasti akan tiba. Dan aku
berjanji akan mengajakmu ke ladang bunga matahari di desa sebelah milik
temanku. Ia telah setuju untuk memperlihatkannya padamu.”
“Sungguh?”
“ Iya aku janji.” Dan mereka berdua pun tertawa.
Harapan baru telah tercipta di hati keduanya.
Paginya kabar buruk Masashi dapat dari temannya,
ladang bunga matahari milik temannya tersebut akan dibakar dan diganti dengan
tanaman lain. Ia menyerahkan sebuah kantong kecil pada Masashi.
“Hanya itu yang bisa aku berikan.” Katanya.
Setahun telah berlalu, kondisi ashma
Himawari semakin membaik. Konon Himawari boleh pulang ke kota tempat asalnya,
disana ada kemungkinan besar untuk mendapatkan transplantasi mata. Waktu yang
tersisa untuk dihabiskan bersama Masashi hanya tinggal seminggu. Namun Masashi
harus mengikuti kegiatan sekolah dan akan selesai di akhir pekan. Keduanya
merasa sedih namun tidak dapat berbuat apa-apa.
Sebelum akhir pekan tiba-tiba pihak
rumah sakit mendapat kabar bahwa mereka mendapatkan pendonor mata untuk Himawari
sehingga ia tidak perlu pergi ke kota. Operasi berjalan lancar, sudah seminggu
sejak transplantasi mata dilakukan dan saat dibukanya perban telah tiba.
Setelah sekian lama akhirnya ia dapat melihat lagi. Namun sayang sekali Masashi
tidak berada disana saat pembukaan perban. Hal pertama yang sangat menarik
perhatiannya adalah deretan bunga matahari yang tumbuh diluar jendela kamarnya.
Ia sangat terkagum kagum bagaimana bisa ada bunga matahari disana. Ibunya
mengatakan bahwa Masashi lah yang telah menanamnya dan ia ingin memberikan
kejutan pada Himawari jika suatu saat ia akan dapat melihat lagi.
“Lalu, dimana Masashi sekarang?” tanya Himawari.
Wajah dokter dan kedua orang tua Himawari menjadi
masam. Mereka bingung harus mengatakannya pada Himawari atau tidak, namun pada
akhirnya pun ayah Himawari angkat bicara.
“Saat ini ia sedang melihat bunga matahari bersamamu.”
“Benarkah? Dimana?”
“Kedua matamu... Masashi yang memberikannya.”
Jantung Himawari serasa berhenti sejenak. Mata
Masashi? Bagaimana bisa? Perasaannya bercampur aduk antara bingung dan tidak
percaya.
“Seminggu yang lalu saat melakukan kegiatan sekolah
terjadi kecelakaan yang menimpa Masashi, pesan terakhirnya adalah untuk memberikan
kedua matanya padamu.”
“Bagaimana bisa?” air mata mengalir membasahi kedua
pipi Himawari.
“Kejadian tersebut berlangsung cepat, ia tidak dapat
diselamatkan. Maafkan kami.” Kata dokter.
“Bagaimana bisa? BAGAIMANA?” badan Himawari bergetar
hebat dan ia pun pingsan.
Kesedihan terbesar telah terjadi dalam hidupnya.
Himawari lebih memilih buta selamanya daripada ia harus kehilangan Masashi. Tak
lama kemudian ibu Masashi datang dan menyerahkan sepucuk surat padanya. Ia
berkata bahwa surat itu harusnya diberikan saat Himawari akan pindah lagi ke
kota. Matanya berkaca-kaca saat menerima surat tersebut, dan tangisnya pun
pecah saat membaca isi surat tersebut.
Untuk Himawari
Hallo, disini Masashi !
Saat kau membaca surat ini pasti kau sudah bisa melihat. Aku sangat sedih jika
kita harus berpisah seperti ini, namun apa boleh buat.
Apa kau masih ingat
janji kita saat itu?
Maaf, sebenarnya ladang
bunga matahari milik Haru sudah berubah menjadi ladang jagung. Namun sebagai
gantinya ia memberikan beberapa biji dan aku menanamnya di depan jendela
kamarmu.
Sebenarnya aku sangat
terkejut saat mendengar kau akan pindah, padahal aku sudah susah payah
menanamnya.( ; _ ;)
Ah maaf, jangan
khawatir! Meskipun begitu, maukah kau kembali kesini dan melihatnya bersamaku?
Andaikan tidak bisa, kuharap kau bisa melihat bunga matahari di suatu tempat.
Aku sangat senang jika
saat ini kau sudah bisa melihat. Tetaplah semangat dan tersenyumlah!
Kau harus selalu
bersinar terang seperti namamu...Himawari.
Tolong balas suratku
ya, aku sangat menantikannya! (/^o^)/
Dari
Masashi
==== *** ====
Air mataku
menetes dan hatiku menjadi hangat. Tidak kusangka aku bisa melihatnya disini.
Semangatku semakin tinggi untuk bisa lolos ujian masuk Universitas Meiji.
“Maaf, apa
kau tidak apa-apa?” Seorang laki-laki dengan senyum yang hangat menepuk bahuku
dan membuyarkan kenangan masa laluku.
“Ah maaf,
aku tidak apa-apa. Aku hanya tersentuh melihat keindahan bunga matahari ini.”
“Benarkah?
Aku senang mendengarnya, akulah yang menanamnya. Apakah kau calon mahasiswa
yang sedang melihat-lihat?”
“Iya, saat
dapat masuk nanti mungkin aku akan sering-sering mampir kemari.”
“Ahahaha...
kalau begitu semoga berhasil, aku sangat menantikannya.” Laki-laki itu
tersenyum dan pergi meninggalkanku. Sekilas senyum itu mengingatkanku pada
senyum Masashi yang aku lihat dari foto yang diperlihatkan ibu Masashi dulu.
“Himawariiiiiii
!!” Misa berteriak memanggilku.
“Eh, ada
apa?”
“Beruntung
sekali kau bisa berbicara dengan si senior tampan. Aaah, aku iri.”
“Yang tadi
itu? Dia yang kau maksud?” Misa pun mengangguk. Aku hanya tertawa mendengar
rengekan Misa yang iri karena aku bisa berbicara dengan senior idolanya.
Sepertinya
motivasiku untuk memasuki Universitas Meiji semakin meningkat. Semoga saja aku
dapat lolos ujian masuk dan dapat berdiri di tempat ini lagi. Mmm, dan mungkin
berkenalan juga dengan senior yang belum aku ketahui namanya tadi.
THE END
Gimana?? Nangis nggak? :v wwww
Udah deh, gw cuma pingin post ini doang xD
Cukup sekian, jika ada tutur kata kurang berkenan, mohon dimaapkan xD :v
Kritik dan saran silahkan, Komentar bebas kok xD
Mata ne!!!(^-^)